Minggu, 08 Agustus 2010

Pertumpahan Darah Di Tanah 'Merah'


“Kami akan berjuang hingga darah terakhir kami, tetapi tak akan memberikan seinci tanah pun pada pemerintah.”
- Abdus Samad, tokoh warga dan keagamaan dari Nandigram

Grup Salim didirikan oleh sahabat dari mantan diktator Soeharto, Sudono Salim atau yang biasa dikenal dengan nama Liem Sioe Liong. Sebelum krisis moneter melanda Asia pada tahun 1997, Grup Salim merupakan korporasi berbasis bisnis keluarga terbesar di Indonesia dengan aset mencapai US$ 10 milyar (sekitar Rp 100 trilyun). Namun pada saat krisis moneter melanda Asia pada tahun 1997 mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar jatuh terpuruk, Grup Salim pun ikut terpuruk karena harus membayar utang-utangnya yang ikut membengkak kepada pemerintah dalam dollar.

Kerusuhan rasial Mei 1998 di Jakarta yang sarat dengan isu anti-cina dan anti-Soeharto juga ikut menambah nasib sial Grup Salim. Apalagi mereka sangat erat hubungannya dengan rezim Soeharto dan keluarga Cendana sebagai rekan bisnis. Pada BCA saja, Grup Salim memegang 70% saham sementara dua anak dari Soeharto (Siti Hardiyanti Rukmana dan Sigit Harjojudanto) memegang sisanya. Pada kerusuhan tersebut, rumah keluarga Grup Salim di Jakarta habis dijarah dan dibakar oleh massa. Tak lama setelah kerusuhan Mei, ratusan ribu nasabah BCA serentak menarik dananya, membuat bank swasta dengan jumlah nasabah terbesar itu pun kolaps. Bank Indonesia sempat menyuntikkan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 26,6 triliun kepada BCA sampai akhirnya pemerintah kemudian mengambil-alih BCA—yang merupakan mesin uang milik Grup Salim—pada bulan Agustus 1998. Lewat perundingan singkat, Grup Salim menandatangani perjanjian pembayaran utangnya sebesar Rp 52,6 triliun pada November 1998 kepada pemerintah baru. Mereka menyerahkan 107 perusahaannya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang sebagian merupakan ikon kuat dari bisnis mereka seperti PT Indocement Tunggal Perkasa, PT Salim Palm Plantation, PT Indomiwon, PT Indosiar Visual Mandiri Tbk., PT Yakult Indonesia Persada, dan PT Indomobil Sukses Internasional, sebagai usaha untuk membayarkan utang-utangnya. Aset-aset mereka yang diserahkan kepada BPPN itu pun dijual kepada investor-investor asing maupun lokal mulai tahun 2000-an. Selain itu, Grup Salim juga menjual beberapa asetnya yang berada di luar negeri dari mulai California, USA hingga Belanda.
Namun, kini Grup Salim berhasil bertahan dan bangkit dari keterpurukannya. Mungkin karena sebelumnya mereka tetap mempertahankan beberapa perusahaan, di antaranya adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk (yang merupakan produsen mie instan terbesar di dunia) dan PT Bogasari Flour Mills (produsen terigu terbesar di dunia sekaligus penyedia bahan dasar pembuatan mie instant PT Indofood) yang kemudian kian merajarela karena monopolinya. Indofood sendiri memiliki kekuatan pada profil produksi rendah biaya, jangkauan distribusi yang luas—siapa yang tidak kenal dengan merk Indomie?— dan kecepatan menjangkau konsumen melalui anak perusahaannya, PT Indosentra Pelangi, yang juga menjadi pemain utama di bidang industri bumbu penyedap makanan—termasuk bumbu dalam kemasan Indomie. Mereka juga berhasil menguasai saham pada perusahaan telepon terbesar Filipina, Philippine Long Distance Telephone Co. (PLDT) dan terus memperlebar sayapnya di Hong Kong, Thailand, Australia, Cina dan tentu saja India.
Sama seperti kebanyakan korporasi, Grup Salim sangat erat hubungannya dengan militer. Bahkan pada kenyataannya, Liem Sioe Liong pertama kali bertemu dengan Soeharto lewat bisnis perdagangan senjata . Kini, ekspansi bisnis Grup Salim yang sekarang berada di bawah kekuasaan anak Liem Sioe Liong sendiri, yaitu Anthony Salim, di India pun diwarnai dengan kekerasan dan militer.

Grup Salim di India

Pada tahun 2005, pemerintahan negara bagian Benggala Barat, India timur, mulai melakukan pengambil-alihan atas lahan-lahan pertanian di kawasan Bhangar, 25 km dari ibukota Benggala Barat, Kalkuta, untuk pembangunan jalan tol dan perkotaan. Proyek ini dikerjakan oleh korporasi transnasional asal Indonesia ini, Grup Salim. Lebih dari 100 desa petani kehilangan tanah suburnya. Walaupun aksi-aksi protes di Bhangar bisa dibilang tidak terlalu besar, tapi aksi-aksi tersebut ternyata memberi inspirasi besar terhadap perjuangan-perjuangan melawan kebijakan ekonomi pemerintah Benggala Barat di kemudian hari.

Pada Juli 2006, pemerintahan Benggala Barat kembali menandatangani perjanjian kerjasama dengan Grup Salim untuk pembangunan pusat industri kimia milik Grup Salim di atas lahan pertanian sebanyak 5,867 hektar di kawasan pedesaan Nandigram, 150 km selatan dari Kalkuta. Proyek ini adalah sebagian dari proyek pembangunan Special Economic Zone (SEZ) di India.
Dalam perjanjiannya dengan pemerintah Benggala Barat atas pembangunan SEZ di Nandigram, disepakati bahwa pemerintah akan segera membeli tanah pertanian milik warga untuk kemudian diberikan kepada Grup Salim agar mereka dapat secepatnya membangun pusat industri kimianya. Namun para petani menolak menjual tanahnya. Bukan karena tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan, melainkan karena penduduk Nandigram menyadari bahwa tanah adalah satu-satunya sumber penghidupan bagi mereka. Gelombang demonstrasi penolakan pengambilalihan tanah di Nandigram pun mulai terjadi.
Sejak awal Januari 2007, terjadi banyak bentrokan sporadis antara penduduk desa dengan pihak kepolisian Benggala Barat. 7 Januari 2007, penduduk Nandigram kembali melakukan aksi demonstrasi besar-besaran untuk menentang rencana pembangunan SEZ di atas tanah mereka. Akhirnya, polisi yang dikerahkan oleh pemerintah negara bagian pun menghadang dan menembaki mereka dengan peluru tajam. Tujuh warga Nandigram meninggal dunia terkena tembakan polisi dan lebih dari 100 orang terluka parah. Seorang anak berumur 14 tahun, Biswajit Maity, meninggal. Dalam tragedi tersebut—dan tragedi-tragedi sebelumnya, seperti yang terjadi di Kalinganagar, Narmada, Singur , Orissa , dll—pemerintah telah membunuh dan menghancurkan penduduknya sendiri untuk ‘menjamu’ keinginan para investor. Hal yang cukup mengagetkan warga India adalah fakta bahwa pembunuhan atas para petani di Nandigram dimotori oleh Communist Party of India-Marxist (CPI-M), salah satu anggota dari Left Front—aliansi partai-partai Kiri India—yang telah berkuasa pada kursi pemerintahan negara bagian Benggala Barat sejak tahun 1969. CPI-M bahkan sempat menjalankan program land reform di Benggala Barat dan membantu banyak petani tak bertanah untuk mendapatkan haknya atas akses tanah. Banyak petani Benggala Barat—yang sebelumnya adalah pendukung terbesar CPI-M—mengira dengan naiknya CPI-M ke kursi kekuasaan, partai tersebut akan dapat melindungi hidup dan hak-hak rakyat miskin India, tetapi pada kenyataannya malah menjadi pelindung bagi kekuasaan korporasi.
Sejak insiden penembakan atas 7 petani dalam insiden di Nandigram, Januari 2007, penduduk mulai membuat blokade di sekitar kawasan tersebut. Mereka melubangi jalan-jalan, merusak serta membakari beberapa jembatan yang merupakan akses masuk menuju Nandigram. Blokade ini berhasil mencegah para polisi, intelejen, pekerja bangunan, dan para perwakilan polit-biro CPI-M untuk masuk. Para pekerja bangunan yang dikirim oleh CPI-M berdatangan ke Nandigram dengan alasan untuk membetulkan jembatan serta jalanan-jalanan yang dirusak warga, selain untuk memulai membuat patok-patok dan pengukuran tanah.
Namun, blokade tersebut tidak mampu melindungi kawasan Nandigram lebih lama lagi. Pada 14 Maret 2007 pertumpahan darah kembali terjadi. Kekacauan dimulai ketika sekitar 5000 anggota polisi dan grup paramiliter CPI-M bersenjata yang dikirim oleh pemerintah Benggala Barat, berusaha memasuki kawasan pedesaan Nandigram. Warga yang pada saat itu masih melakukan aksi protes untuk menentang rencana pengambilalihan tanah mereka untuk pembangunan SEZ, melakukan perlawanan. Puluhan penduduk perempuan berpakaian serba hitam mulai menghalangi jalan masuk menuju area tersebut. Dengan bersenjatakan batu, clurit, serta beberapa perkakas bertani lainnya, mereka siap untuk mempertahankan tanah dan hidup mereka. Dalam bentrokan yang terjadi, polisi—yang kali ini dibantu oleh paramiliter bersenjata CPI-M—kembali menembaki warga. Hasilnya, jatuh lagi korban. 12 petani meninggal dunia dan lebih dari 40 lainnya luka-luka. Estimasi tersebut dinyatakan secara resmi oleh pihak kepolisian. Berbeda dengan estimasi yang dirilis oleh kepolisian, sebuah tim pencari fakta independen melaporkan, diperkirakan terdapat 100—150 korban yang meninggal dan hilang, karena tidak semua korban meninggal akibat terkena tembakan polisi. Menurut saksi mata dan warga Nandigram, Banyak korban meninggal akibat dipukuli serta diinjak-injak, dan ada juga yang meninggal di rumah sakit akibat luka yang terlalu parah atau ditelantarkan oleh pihak rumah sakit. Beberapa sumber melaporkan, masih ditemukan banyak mayat yang bergeletakan di jalanan sampai pada malam hari. Sumber lain melaporkan bahwa banyak mayat yang dibuang ke sungai Haldi yang mengalir di tengah-tengah desa. Sebagian petani tak bertanah yang mendapatkan tanahnya lewat program land reform CPI-M, kini kembali dilemparkan ke jalanan dan kehilangan tanahnya. CPI-M berada di bawah kontrol Grup Salim.
15 Maret 2007, perlawanan belum juga padam. Bentrokan-bentrokan kecil masih terjadi di berbagai kawasan Nandigram antara polisi yang bersenjatakan gas air mata dan tongkat pemukul dengan warga yang marah atas insiden pada hari sebelumnya. Beberapa warga sempat membakar kantor administratif CPI-M lokal dan menyerang seorang petugas polisi di depan rumah sakit yang penuh dengan para kerabat korban meninggal dan luka-luka.
Insiden 14 Maret 2007 menyulut kemarahan masyarakat India termasuk juga grup-grup akar rumput dan partai-partai Kiri anggota Left Front lainnya seperti Revolutionary Socialist Party, All India Forward Bloc, Revolutionary Communist Party of India, West Bengal Socialist Party, Democratic Socialist Party, dll. Protes besar-besaran atas pembunuhan tersebut terjadi dalam skala nasional di hampir seluruh wilayah India.

Kapitalisme global, kekuasaan, dan negara

Grup Salim terus melebarkan sayap bisnisnya di India. Setelah membangun perkotaan dan pabrik sepeda motor dengan total investasi sekitar US$ 580 juta melalui bendera Kolkata West International Private Limited, kini Salim mulai menjajaki pembangunan pabrik mie instan. Untuk tahap awal, Salim Group telah diberi kepastian dari pemerintah India untuk membebaskan lahan seluas 500 acre di Howrah, India. Di atas lahan tersebut akan dibangun sebuah pabrik mie instan terbesar. Pembangunan pabrik mie instan milik Grup Salim di India dilakukan dengan menggunakan bendera Ambica Jute Mills Limited yang merupakan anggota dari Kankarai Group.
Di Indonesia, Grup Salim sangat dekat dengan rezim orde baru. Melihat kedekatannya dengan rezim Soeharto, tidaklah terlalu mengherankan mengapa korporasi tersebut mampu menjadi korporasi terkaya dan menguasai pasar di Indonesia selama Soeharto berkuasa. Mereka menyokong senjata bagi Soeharto yang kemudian mendapatkan kursi kekuasaannya lewat pembantaian komunis di Indonesia. Ironisnya, dalam praktek kebijakan neoliberal di India, Grup Salim memenangkan hati pemerintahan India yang komunis, dengan membantai para pendukungnya pemerintahan tersebut: para petani kecil. Kontradiksi ini sekali lagi memperlihatkan kepada kita semua bahwa siapapun yang memegang kekuasaan di sebuah negara, kapitalisme lah yang akan tetap keluar sebagai pemenangnya. Kapitalisme akan selalu mendukung pemerintahan manapun yang mampu mendukung kepentingan ekonomis mereka. Di bawah rezim kapital, siapapun yang duduk di kursi kekuasaan, korporasi lah yang akan menang.
Di benak kebanyakan orang, kapitalisme dan neoliberalisme adalah mengenai kebijakan Amerika Serikat (AS). Namun dari kisah pembantaian para petani di India, terlihat bahwa apa yang selama ini ada di benak kebanyakan orang mengenai AS sebagai pelaku neoliberalisme tidaklah sepenuhnya benar. Kapitalisme yang berujud neoliberalisme bukan lagi mengenai kepentingan sebuah negara bangsa, melainkan kepentingan akumulasi kapital bagi korporasi. Dan dalam neoliberalisme, siapapun, dari negara manapun dapat berpartisipasi dalam praktek imperialisme global.


1. Soeharto memberikan kepercayaan kepada Liem Sioe Liong sebagai supplier senjata untuk militer Indonesia sejak akhir 1950-an.
2. SEZ adalah kawasan-kawasan yang dipilih secara geografis dimana terdapat hukum perekonomiannya khusus yang lebih liberal dibandingkan hukum perekonomian negaranya sendiri. Kebijakan neoliberal SEZ pertama kali diterapkan di China 1980-an. Langkah ini kemudian diikuti oleh beberapa negara lain seperti India, Iran, Yordania, Polandia, Kazakhstan, Filipina, Russia, dan Ukraina. Di Amerika, SEZ dikenal dengan nama “Urban Enterprise Zones”.
Pada dasarnya, tujuan pemerintah India membuat program SEZ ini sendiri adalah untuk meningkatkan perekonomian India serta pembangunan infrastruktur tingkat tinggi di negara tersebut. Proyek-proyek SEZ yang menawarkan kelonggaran atas pajak—bahkan sampai ke tahap bebas pajak—tersebut dibuka untuk mengundang investor-investor asing, mendorong tingkat ekspor serta mendongkrak perekonomian India. Secara finansial, Grup Salim mendukung pembangunan SEZ di Benggala karena proyek SEZ membuka peluang bisnis baru bagi mereka di India. Proyek pembangunan SEZ di atas lahan persawahan milik warga di kawasan pedesaan Nandigram adalah 1 dari 230 proyek SEZ lainnya yang telah dibuat proposalnya oleh pemerintah federal India.
3. 2 Desember 2006 di kawasan Singur, polisi juga menyerang para petani yang sedang melakukan aksi demonstrasi secara damai untuk menentang pengambil-alihan secara paksa atas tanah pertanian mereka sebesar 1000 hektar untuk pembangunan pabrik mobil oleh korporasi lokal, Grup Tata. Aksi ini berlanjut menjadi aksi mogok makan selama 25 hari. Tahun 2007, dilaporkan seorang petani yang tanahnya telah direbut, melakukan aksi bunuh diri setelah pabrik mobil tersebut mulai beroperasi.
4. 2005, di negara bagian Orissa, 11 petani juga meninggal dunia dalam bentrokan dengan aparat kepolisian di tengah aksi protes yang mereka lakukan untuk menentang pembangunan pabrik baja milik korporasi multinasional Korea Selatan, POSCO Co. Ltd., di atas lahan pertanian mereka.

Sumber : Jurnal Apokalips Edisi 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar