Minggu, 08 Agustus 2010

Darah Dan Minyak Di Nigeria


"Dimana minyak berkuasa, hidup adalah neraka."
- Oronto Douglas, Niger Delta

"Mereka adalah para pembunuh di daratan-daratan asing. Mereka mengebor dan membunuh Nigeria."
- Assassin In Foreign Lands,
Wawancara CorpWatch Radio dengan seorang aktivis HAM Oronto Douglas

Royal Dutch Shell (atau yang lebih dikenal sebagai "Shell", dengan logo kerang berwarna kuning-merah) adalah hasil merger dua perusahaan besar; Royal Dutch Petroleum Company dari Belanda dan "Shell" Transport and Trading Ltd. dari Inggris pada Februari 1907, dengan kesepakatan 60% grup-grup Royal Dutch Shell dikuasai oleh Belanda, dan 40% dikuasai oleh Inggris. Langkah merger ini diambil karena kebutuhan kedua perusahaan tersebut untuk bersaing secara global dengan perusahaan minyak monopolistik asal Amerika, Standard Oil. Kini, Royal Dutch Shell (selanjutnya akan disebut sebagai Shell saja) telah beroperasi di dalam lebih dari 140 negara di seluruh dunia dalam bentuk grup-grup yang menjadi representasi Shell di masing-masing negara seperti Shell Oil Company (Amerika Serikat), Shell Argentina, Shell Nigeria, Shell India, dan negara lain termasuk Indonesia. Lahan bisnis Shell pun bervariasi dengan bagian-bagiannya masing-masing seperti Shell Chemicals, Shell Hydrogen, Shell Motor-sport dan masih banyak lagi, termasuk pengeboran dan produksi minyak.

Shell sendiri memiliki sejarah panjang dalam kejahatan di banyak negara seperti beberapa kasus pelanggaran HAM, kebocoran pipa minyak, kebakaran, kecelakaan, kematian pekerja dan tentu saja pencemaran lingkungan dan pemanasan global. Mereka terlibat dan terbukti bertanggung jawab atas aktivitas-aktivitas anti Serikat pekerja di Inggris; tumpahnya 230.000 galon bensin ke anak sungai di Washington; kebakaran, ledakan, kebocoran pipa yang sering terjadi di pabrik Shell di Durban, Afrika Selatan; pembuangan limbah ke pantai utara di Brent Spar (salah satu fasilitas penyimpanan minyak milik Shell); sungai (sebagai sumber kehidupan masyarakat lokal) yang kadang berwarna hitam pekat karena tercampur limbah di Peru; dan masih banyak lagi kejahatan yang telah dilakukan oleh grup-grup Shell di seluruh penjuru dunia. Namun dari semua kontroversi dan kasus yang pernah terjadi, apa yang terjadi di Nigeria adalah yang paling mengundang perhatian mata dunia, yaitu keterlibatan Shell dalam persidangan yang tidak adil dan eksekusi mati atas seorang penulis sekaligus aktivis lingkungan dan penentang Shell bernama Ken Saro-Wiwa dan 8 orang lainnya, yang digantung sampai mati oleh militer Nigeria.

Shell Nigeria

Sejak cadangan besar petroleum ditemukan di Nigeria pada tahun 1950-an, minyak telah menjadi bagian penting dalam perekonomian Nigeria. Banyak korporasi multinasional mulai berdatangan untuk melakukan eksplorasi, diantaranya adalah Shell, Chevrom dan Mobil. Namun Shell adalah perusahan minyak asing yang paling mendominasi kegiatan eksplorasi dan pengeboran minyak di Nigeria. Mereka bahkan menguasai sekitar 60% dari keseluruhan pasar minyak domestik di Nigeria sendiri. Kenyataannya, keberadaan Shell di Nigeria hanya membawa kesejahteraan bagi pemerintah militeristik Nigeria saja, sementara rakyat Nigeria semakin hari hanya menjadi semakin miskin. Sekitar 12 juta barrel minyak yang setiap harinya diekspor dari Nigeria berasal dari 12% tanah Nigeria, namun tidak ada satupun masyarakat yang tinggal di atas tanah tersebut merasakan keuntungan apapun. Kebanyakan fasilitas operasi milik Shell berada di kawasan yang sangat jawa akan minyak bumi bernama Delta yang berada di sebelah tenggara Nigeria. Selain merusak lingkungan, secara ekonomi produksi minyak Shell di Delta juga turut menghancurkan kelangsungan hidup masyarakat setempat, salah satunya adalah masyarakat Ogoni yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan.

Sejak memulai pengeboran pertamanya tahun 1953, pipa-pipa penyaluran minyak dan gas milik Shell mulai memenuhi kawasan Delta, termasuk di atas tanah persawahan dan pemukiman warga. Sering terjadi kebocoran gas, mengakibatkan semburan api yang keluar secara Konstan. Namun, yang paling sering terjadi adalah kebocoran bahan-bahan pengolahan minyak dari pipa-pipa tersebut yang akhirnya mencemari perairan, tanah persawahan dan sumber air untuk irigasi. Akibatnya, para petani sering mengalami gagal panen. Ikan-ikan dan kehidupan di dalam laut juga ikut mati, mengakibatkan mata pencaharian para nelayan menjadi lumpuh total. Awalnya, pihak Shell menyatakan bertanggung jawab dan akan membersihkan kebocoran-kebocoran tersebut. "Pembersihan" yang mereka lakukan adalah dengan cara membuat parit-parit pada tanah sekitar pipa untuk menampung kebocoran dan mencegahnya mencemari pemukiman warga. (Hal ini mengingatkan kita akan usaha-usaha dalam mencegah melebarnya semburan lumpur panas di Sidoarjo dengan cara membangun tanggul-tanggul yang akan selalu jebol. Solusi sementara yang tidak akan merubah apapun.)

Ribuan masyarakat Ogoni kehilangan mata pencaharian, kesehatan dan kehidupan dalam sekejap, namun, pemerintah Nigeria dan pihak Shell tidak peduli. (Pada tahun 1996, Shell akhirnya mempekerjakan 88 orang Ogoni dalam fasilitas produksi minyaknya. Jumlah itu hanya 0.0002% dari keseluruhan populasi Ogoni, dan hanya 2% dari keseluruhan pekerja Shell di Nigeria. Sejak 1953 masyarakat Ogoni hidup dalam keadaan yang menyedihkan. Shell telah merampas kehidupan mereka di kawasan Delta, namun masyarakat Ogoni tidak tinggal diam.

Shell dan Kekerasan di Nigeria

Baik Shell maupun pemerintah Nigeria,keduanya mengakui bahwa Shell telah memberikan kontribusi besar kepada Nigeria lewat kucuran dananya kepada militer dan kepolisian Nigeria, terutama di kawasan Delta. Dengan bantuan ini, Nigeria membantu Shell dengan cara "melindungi"-nya dari demonstran-demonstran penentang Shell yang melakukan aksi penuh damai dan tak bersenjata. Pertentangan antara masyarakat Ogoni dari wilayah Delta melawan pihak Shell menjadi semakin keras sejak tahun 1990, saat polisi Nigeria membubarkan demonstrasi Ogoni di kampung Umeuchem, Delta. Dalam insiden ini, 80 Ogoni mati terbunuh, beberapa rumah dan hasil petani dibakar. Akhirnya, rakyat Ogoni mulai membentuk organisasi akar rumput bernama Movement for the Survival of the Ogoni People (MOSOP) yang menjadi wadah untuk mempertahankan sumber kehidupan serta hak-hak hidup masyarakat Ogoni. Pada intinya, MOSOP didirikan sebagai usaha masyarakat Ogoni untuk mengusir korporasi-korporasi asing dari tanah Ogoni.

Setelah dibentuk, MOSOP merilis "Ogoni Bill of Rights" dengan poin inti berisi tuntutan-tuntutan : (1) Pembersihan atas kebocoran-kebocoran minyak di Delta; (2) Penghentian semburan api akibat kebocoran gas di fasilitas produksi minyak; (3) Pemberian uang ganti rugi atas tanah, sumber daya alam, pendapatan dan kehidupan yang telah hancur akibat eksplorasi minyak; (4) Pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat Ogoni atas pengeboran minyak di atas tanah Ogoni; dan (5) Hak untuk menentukan nasib sendiri bagi masyarakat Ogoni (self-determination). Tuntutan-tuntutan ini tidak hanya ditunjukan kepada pemerintah Nigeria, tetapi juga kepada korporasi-korporasi asing lain yang mengeksploitasi minyak di kawasan Delta, termasuk Shell.

Pada januari 1993, di bawah bendera MOSOP sekitar 300.000 masyarakat Ogoni kembali melakukan demonstrasi besar-besaran secara damai menentang kebijakan pemerintah Nigeri dan menolak aktivitas Shell di tanah Ogoni. Aksi protes ini akhirnya menarik perhatian dunia internasional terhadap hak-hak dan kehidupan masyarakat Ogoni yang terancam. Melihat demonstrasi tanpa kekerasan ini memiliki peluang untuk berkembang menjadi protes internasional melawan Shell, pada Februari 1993 tim penasehat Shell Internasional berangkat ke London untuk melakukan pertemuan bersama perwakilan dari Shell Petroleum Development Company (SPDC). Di sana mereka membicarakan strategi tandingan untuk menyelamatkan aktivitas Shell di Nigeria. Pemerintah Nigeria akhirnya melarang setiap bentuk pertemuan warga, dan setiap usaha yang mengganggu produksi minyak dianggap sebagai pengkhianatan terhadap negara. Pada bulan April di tahun yang sama, seorang penulis sekaligus aktivis dan sendiri MOSOP bernama Ken Saro-Wiwa ditahan selama 16 jam oleh militer Nigeria dan akhirnya dilepaskan kembali tanpa tuduhan apapun. Namun, 5 hari kemudian, Saro-Wiwa kembali ditangkap dan kemudian dilepaskan kembali.

Represi militer Nigeria yang didanai oleh Shell bertambah kencang pada tahun 1994. 21 Mei, sekelompok tentara dan polisi bersenjata terlihat berkeliaran di beberapa perkampunga Ogoni. Pada hari yang sama pula, 4 ketua adat Ogoni ditemukan mati terbunuh dan Saro-Wiwa beserta beberapa aktivis MOSOP lainnya ditangkap oleh militer Nigeria. Pada pertengahan Juni 1994, 30 perkampungan Ogoni dimusnahkan dan sekitar 600 Ogoni ditahan dan setidaknya 40 Ogoni dibunuh.

Shell dan Hukum di Nigeria

Tanpa adanya bukti yang kuat, Saro-Wiwa dan 9 aktivis MOSOP lainnya dituduh telah menghasut sekelompok MOSOP untuk membunuh 4 ketua adat Ogoni. Walaupun mereka menolak mentah-mentah tuduhan tersebut, mereka tetap dipenjara sampai pada akhirnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi eksekusi mati oleh pengadilan militer Nigeria 1 tahun kemudian. 9 aktivis MOSOP ini pada kemudian hari disebut sebagai "Ogoni 9" sementara 20 aktivis lain yang ikut ditangkap tetapi tidak dijatuhi eksekusi mati disebut "Ogoni 20". Tuduhan atas kasus pembunuhan tersebut semakin diperkuat saat pengadilan mendatangkan beberapa saksi yang memberatkan Saro-Wiwa dan ke-8 rekannya. Belakangan, menurut laporan Greenpeace tahun 2001, 2 dari para saksi tersebut akhirnya mengakui bahwa sebelumnya pihak Shell dan militer Nigeria telah menyogok mereka dengan iming-iming sejumlah uang serta kesempatan bekerja dalam fasilitas pengeboran milik Shell agar mau memberikan kesaksian yang memberatkan 9 aktivis MOSOP yang ditahan.

Tampaknya "kejahatan" sesungguhnya yang membuat Saro-Wiwa diadili upayanya yang keras dalam menentang aktivitas dan operasi Shell di Nigeria. Selain mendorong masyarakat Ogoni untuk berjuang menghentikan pengrusakan hebat atas perekonomian dan lingkungan di tanah Ogoni oleh Shell, Saro-Wiwa juga mendorong masyarakat Ogoni untuk kembali hak-hak mereka atas sumber kehidupan masyarakat Ogoni (tanah, sawah dan air) yang mulai rusak sejak Shell memulai eksplorasi minyak di Delta. Akhirnya Saro-Wiwa beserta 8 anggota MOSOP lainya dihukum gantung oleh militer Nigeria pada tanggal 10 November 1995. Kata-kata terakhir Saro-Wiwa sebelum digantung adalah: "Perjuangan akan terus berlanjut!"

Eksekusi terhadap "Ogoni 9" akhirnya berhadapan dengan respon internasional. Pengadilan terhadap Saro-Wiwa dan kawan-kawannya mendapat kritik besar-besaran dari berbagai organisasi peluang HAM di seluruh dunia. Mereka juga mengutuk pemerintah Nigeria yang telah melakukan penangkapan dan pembungkaman terhadap aktivis-aktivis MOSOP yang kritis dan pro-demokrasi. Ironisnya, walaupun Amerika Serikat, Inggris dan sebagian besar negara Eropa mengklaim akan memberikan sangsi kepada Nigeria, produksi minyak dan segala aktivitas Shell di Nigeria masih terus berjalan tanpa adanya gangguan.

Pada tahun 1998, kembali terjadi banyak penangkapan terhadap masyarakat Ogoni. Kebanyakan dari mereka ditangkap karena mendukung gerakan Ogoni dan membantu masyarakat untuk terus mengenang tragedi Ken Saro-Wiwa. Pada 7 September 1998, "Ogoni 20" dibebaskan dengan uang jaminan setelah dipenjarakan tanpa kejelasan sejak tahun 1994.

Shell di Nigeria Hari Ini

Saat ini, masih banyak komunitas di kawasan Delta yang bekerja melakukan penelitian dan memberikan pendidikan kepada penduduk Delta mengenai dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang muncul akibat keberadaan industri minyak di tanah Ogoni. Salah satunya adalah "Environmental Rights Action" (ERA) dan "Niger Delta Human and Environmental Rescue Organization" (ND-HERO). Selain itu, semakin banyak pula gerakan kelompok-kelompok adat Delta selain Ogoni yang mulai menyuarakan penolakan terhadap Shell, Chevron dan Mobil di Nigeria.

Salah satu hak yang sering terlupakan adalah, saat ini banyak pejuang Ogoni yang terusir dari tanahnya sendiri akibat ancaman kekerasan dari para "polisi Shell". Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan pelajar, yang hari Ini masih menjadi pengungsi di Benin, Togo, Ghana dan negara lainnya. Banyak juga Ogoni yang hidup dalam pengasingan, diusir dari Nigeria dan kini bertebaran di seluruh Amerika, Kanada dan Eropa.

Saat ini Shell masih beraktivitas dengan bebas di Nigeria dengan 4 perusahaannya yaitu: Shell Petroleum Development Company (SPDC), Shell Nigeria Exploration and Production Company (SNEPCO), Shell Nigeria Gas (SNG), Shell Nigeria Oil Product (SNOP) dan Nigeria Liquified Natural Gas (NLNG). Rupanya Shell telah melupakan Ken Saro-Wiwa.

Shell di Indonesia

Saat ini kita menjadi bertanya-tanya, siapakah pemegang kekuasaan sesungguhnya di Nigeria? Apakah korporasi multinasional seperti Shell, atau justru militer Nigeria? Siapapun yang memegang kekuasaan, tentu saja hukum dirumuskan bukan untuk melindungi kepentingan dan hak-hak Nigeria. Pada kenyataannya, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi multinasional seperti Shell tidak hanya terjadi di Nigeria saja. Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh, membaca kisah tragis dari Nigeria mengingatkan kita semua akan keterlibatan ExxonMobil Oil atas pembantaian massal yang dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh dan juga pembungkaman demonstrasi warga di blok Cepu beberapa tahun silam. Kini Shell telah berhasil memenangkan kontrak dengan pemerintah Indonesia untuk membuka stasiun-stasiun pengisian bensinnya di Indonesia. Saat perusahaan yang jelas memiliki masa lalu yang buruk tersebut dipersilahkan untuk hadir di tanah Indonesia, kini telah semakin jelas, bahwa seperti apa yang terjadi di Nigeria, hukum memang dibuat hanya untuk melindungi kepentingan dan hak-hak investor, bukan kita.

Sumber : Jurnal Apokalips Edisi 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar